09.51 |
Ke Manakah Anak-Anak Jenius Kepri Menghilang?
Add caption |
”Setiap anak adalah jenius, sampai para orangtua dan sekolah yang merusak kejeniusan mereka….”
Saya merenungkan kalimat di atas sejak beberapa waktu belakangan.
Seorang pakar pendidikan, Thomas Armstrong pernah menulis buku dengan
judul yang agak mengelitik: Awakening Genius in The Classroom. Kalau
diterjemahkan secara bebas, mungkin bisa diartikan begini: membangkitkan
kejeniusan anak di dalam kelas. Pertanyaannya, pertama, apakah
anak-anak di dalam kelas tertekan, sehingga gagal mengeluarkan
kejeniusan mereka? Kedua, apakah sebelum kita mengirimkan anak-anak kita
ke sekolah, ternyata kita telah gagal memberikan ruang yang begitu luas
bagi tumbuh kembangnya kejeniusan anak-anak kita di rumah?
Bertolak dari dua pertanyaan itu, kemudian saya mulai berusaha untuk
mencari sejumlah bahan bacaan terkait kejeniusan anak. Hasilnya, saya
menemukan banyak hal yang luar biasa. Seperti misalnya saja artikel yang
pernah dibuat oleh seorang wartawan senior yang kini menjadi pimpinan
di sebuah stasiun televisi, Ishadi SK. Dalam tulisan tersebut, Ishadi
mengungkapkan banyak sekali data-data tentang anak-anak Indonesia yang
jenius. Dan data itu membuat kita semua akan terbelalak.
Misalnya saja, seorang mahasiswa jurusan Fisika ITB, Anike Nelce
Bowaire, yang berasal dari Papua, ternyata memperoleh penghargaan First
to Nobel Prize in Physic 2005 dalam Kejuraan Fisika Dunia di Amerika.
Gadis tersebut kini tengah melanjutkan studinya di Massachusetts
Institute ff Technology (MIT) di Amerika. MIT tentu bukanlah kampus
sembarangan, dan tidak sedikit orang yang gagal untuk masuk ke sana.
Tentu itu merupakan kebanggaan bagi kita, bahwa anak-anak Indonesia,
yang sering mendapat ejekan kurang SDM karena hanya makan tahu dan tempe
(padahal dua jenis makanan ini memiliki gizi yang luar biasa besar),
dianggap tidak akan bisa berkiprah di wilayah pekerjaan yang
mengutamakan otak, bukan otot.
Dari Makassar, juga ada Muhammad Firmansyah Kasim, siswa SMU Negeri
Makassar yang menyabet emas pada dua ajang berbeda, yakni kejuaraan
Olimpiade Asia di China yang diikuti oleh 80 Negara dan Olimpiade Dunia
di Iran yang diikuti oleh 90 negara pada tahun 2007. Satu lagi fakta
yang membuat kita terbelalak adalah bahwa peraih gelar profesor termuda
dalam sejarah panjang perguruan tinggi di Amerika, ternyata adalah anak
Indonesia. Namanya Prof. Nelson Tansu Ph.D. Saat memperoleh gelar guru
besar bidang Fisika, usianya baru 25 tahun. Ia memperoleh gelar tersebut
dari Pennsylvania State University. Nelson adalah murni produk
pendidikan Indonesia. Ia adalah alumni SMA Dr Sutomo 1, Medan. Anak
Medan itu kemudian mencatatkan prestasi akademis besar di Amerika, Bung.
Wah, saya jadi merinding sendiri ketika mengutip data-data ini.
Ternyata, berkah Allah SWT terhadap anak-anak Indonesia tak pernah
berhenti. Satu lagi fakta luar biasa terungkap, ternyata Indonesia
memiliki ilmuan astronomi yang pernah menemukan beberapa planet baru
dalam tata surya kita. Orang tersebut adalah Prof Johny Setiawan, yang
bekerja di Max Planck Institute for Astronomy, Jerman.
Para Jenius Kepri
Ketika mendapatkan data-data tentang para jenius Indonesia itu,
pertama saya merasa bangga. Namun kedua, segera terlintas dalam benak
saya, ke mana jenius-jenius Kepri? Apakah mereka belum terlahirkan, atau
sudah terlahir, hanya belum terekspos ke permukaan. Saya mulai
membuka-buka sejumlah buku lain di rak baca saya. Hasilnya, saya juga
menemukan hal yang tak kalah mencengangkan. Seperti ditulis oleh dua
orang mantan wartawan, Trisno Aji Putra dan Muhammad Amin dalam buku
mereka, ”77 Sosok Terkemuka Kepri”, ternyata setidaknya ada empat anak
jenius Kepri yang telah berprestasi di tingkat internasional. Keempatnya
adalah Rodi Hartono, Muklis Saputra, Farida Fransisca, dan Berry
Ferdiansyah. Keempatnya memiliki kejeniusan di tiga bidang yang berbeda.
Rodi Hartono, anak Anambas, mencatatkan diri sebagai pendesain robot
papan atas negeri ini. Pada tahun 2009 dan 2010, ia beserta timnya
memenangi kontes robot di Amerika, mengalahkan perserta dari berbagai
negara lain. Tak ada yang tahu, ternyata Rodi Hartono adalah anak
seorang nelayan di Tarempa, Kabupaten Anambas.
Sementara Berry Ferdiansyah. Ia memiliki kecerdasan kinestetis, di
mana kedua belah kakinya mampu menggocek bola dengan indah. Hasilnya,
anak Kijang, Kabupaten Bintan ini bersama belasan anak Indonesia
lainnya, bisa memenangi kejuaraan sepakbola junior di Milan, Italia, dan
mengalahkan tim dari berbagai penjuru dunia lainnya. Sementara Muklis
Saputra dan Farida Fransisca, adalah dua orang jago mengaji. Keduannya
juga berasal dari pulau kecil. Farida dari sebuah pulau di kawasan
Karimun, sementara Muklis dari kawasan hinterland Batam. Farida pernah
menyabet juara tiga MTQ Internasional di Yordania, sementara Muklis
pernah menjuarai MTQ tingkat Asia Tenggara. Tentu mereka adalah
jenius-jenius Kepri berbakat. Tapi hanya mereka kah para jenius itu?
Apakah Kepri tidak memiliki jenius lain?
Saya membaca analisa Prof Yohanes Surya. Menurut sang profesor,
sebagaimana yang dituliskan dalam artikel Ishadi SK, Indonesia
memerlukan paling tidak 10.000 orang yang memiliki keahlian ”advance in
science and technology” sebagai persyaratan dasar sebuah bangsa untuk
mengembangkan diri sejajar dengan bangsa-bangsa maju di dunia. Saat ini,
Indonesia baru punya 100 orang. Padahal, kata Prof Yohanes Surya,
berdasarkan uji statistik, rata-rata terdapat seorang jenius di antara
setiap 10.000 orang di dunia. Wah!!!
Berarti kalau Kepri saat ini dihuni oleh sekitar 1,6 juta jiwa, maka
ada 160 jenius yang telah terlahir di Kepri! Lantas di manakah mereka
berada? Mengapa kita baru menemukan bahwa ternyata baru ada empat
anak-anak Kepri yang berhasil menunjukkan kejeniusan mereka di forum
internasional? Ke mana 156 jenius Kepri lainnya?
Saya kembali mendalami analisa Prof Yohanes Surya. Ternyata, para
jenius ini disebutkan bisa pudar dengan sendirinya karena terbiarkan.
Kejeniusan seseorang diukur tingkat IQ-nya yang minimal 140, dan tidak
mempunyai korelasi dengan standar gizi yang dikonsumsi sehari-hari. Jadi
dengan kata lain, semiskin apapun mereka, asupan gizi yang pas-pasan
pun yang mereka dapatkan, namun bila ternyata Allah SWT mengkaruniakan
mereka berkah kejeniusan, maka mereka akan tetap membawa bakat itu. Juga
bisa diartikan, jenius adalah bakat alam yang dibawa sejak manusia itu
dilahirkan. Tapi yang jadi masalah, lanjut Prof Yohanes Surya, ternyata
sebagian terbesar anak-anak jenius ini tidak diolah, dilatih dan dididik
secara benar.
Orangtua dan Sekolah
Membaca ide-ide yang disampaikan oleh Thomas Armstrong sungguh
menarik dan menggugah pikiran. Saya terutama tercenung begitu mendapat
kesimpulan dari buku itu, bahwa pembunuh kejeniusan seorang anak adalah
orang tua dan sekolah. Padahal orang tua dan sekolah adalah dua kelompok
terdekat bagi seorang anak, yang bahkan sampai saat ini dianggap,
justru menjadi kekuatan yang akan mengantarkan seorang anak menemukan
kejeniusan mereka. Artinya, memang kembali seperti kata pepatah, ikan
yang enak, akan menjadi gurih bila disentuh oleh tangan koki yang mahir.
Tapi sebaliknya, akan menjadi sekadar santapan biasa bila tak diolah
dengan baik.
Demikian juga dengan kejeniusan. Mungkin sudah betapa banyak
jenius-jenius alam di Kepri yang lahir kemudian tersiakan karena tidak
mendapatkan penanganan dari orang tua dan sekolah secara semestinya.
Mengapa demikian? Tentu ada baiknya saya berusaha menjelaskan secara
garis besar pokok-pokok pikiran Thomas Armstrong dalam buku Awakening
Genius in The Classroom tersebut. Thomas percaya bahwa kata jenius tidak
lagi bisa diidentikan dengan mereka yang memiliki IQ di atas skore 130.
Thomas menjelaskan bahwa kata jenius berasal dari bahasa Yunani dan
bahasa Latin yang berarti memperanakkan, dilahirkan atau dijadikan. Kata
ini juga diartikan meriah, memeriahkan, riang gembira, dan membantu
pertumbuhan. Dalam dunia pendidikan kata jenius berarti ”melahirkan
kegembiraan dalam belajar”.
Bertolak dari situ, maka Thomas Amstrong sampai pada kesimpulan bahwa
kejeniusan anak akan muncul bila ia mengalami kegembiraan dalam
belajar, mengalami kegembiraan dengan kemajuan dan pertumbuhan yang
mereka alami. Setidaknya, ada 12 ciri kejeniusan itu: rasa ingin tahu
yang besar, jenaka, imajinatif, kreatif, rasa takjub, bijaksana, penuh
daya cipta, penuh vitalitas, peka, fleksibel, humoris, dan gembira.
Lantas di manakah kita bisa menemukan ke-12 ciri itu ada pada diri
seorang manusia? Ternyata hanya ada pada dua kelompok. Yang pertama
adalah kelompok mereka yang dianggap telah sukses dalam berbagai bidang
kehidupan, dari mulai penemu terkemuka, dokter, profesor, budayawan dan
seniman ternama, pengusaha dan lainnya. Dan menariknya, satu kelompok
lagi adalah anak-anak kecil, yang masih masuk tahap pra sekolah. Mereka
juga memiliki hampir 12 ciri kejeniusan seperti di atas, dari mulai
gembira, penuh rasa ingin tahu, memiliki vitalitas, peka, lucu dan
mengemaskan, imajinatif, dan lainnya.
Selain faktor internal di dalam keluarga, juga masih ada faktor
sekolah. Thomas Armstrong mengarisbawahi bahwa sekolah-sekolah yang
memiliki sistem pembelajaran yang kaku, buku pelajaran yang kering,
banyaknya latihan soal, tes dan ujian telah membuat anak-anak kehilangan
rasa gembira, rasa takjub, rasa ingin tahu, keinginan mengeksplorasi,
dan sifat jenaka.
Dengan mengikuti telaah Thomas Armstrong di atas, memang agaknya kita
perlu melakukan refleksi diri terhadap cara kita dalam mendidik anak.
Sebab, tentu yang kita khawatirkan adalah, jangan sampai karena salah
asuh, maka anak-anak jenius yang ada di tangan kita akhirnya hanya akan
menjadi anak-anak yang biasa-biasa saja. Tentu kalau ini yang terjadi,
mungkin sebaiknya kita perlu menyesalinya, sebab, sebuah anugerah besar
dari Allah SWT sudah kita sia-siakan akibat keteledoran dan
ketidaktahuan kita.
Tentu tidak hanya para orangtua, tetapi para guru pun agaknya sudah
harus mulai berpikir untuk menjadikan kelas kita sebagai taman bermain
yang menggembirakan bagi anak-anak. Saya sangat paham, sebenarnya sudah
banyak guru-guru di Kepri yang sudah melakukan hal ini. Mereka dengan
kecerdasannya telah berhasil mengubah kelas dengan mata pelajaran
matematika, fisika, atau kimia, menjadi kelas yang penuh canda tawa dan
menyenangkan.
Namun tentu masih ada yang sebaliknya. Mengapa demikian, karena
memang saya pikir tekanan dari kurikulum kita juga sangat berat. Apalagi
belakangan ada kebijakan ujian nasional. Pertaruhan pendidikan kemudian
menjelma menjadi sejumlah angka-angka yang keluar pada saat UN.
Padahal, tentu proses pendidikan tak bisa diterjemahkan menjadi
sekumpulan angka saja. Namun saya agak bersyukur, dalam beberapa tahun
belakangan, mulai terjadi sedikit demi sedikit perubahan terhadap UN dan
sistem penentuan kelulusan siswa. Tentu, kita akan sangat menyayangkan,
bila pada akhirnya ternyata nilailah yang membunuh kejeniusan anak-anak
kita. ***
Oleh: Hj. Susilawati S.Ag., M.Ed.
Anggota DPRD Kabupaten Bintan & Mahasiswi S3 Ilmu Pendidikan UKM Malaysia (34)
Anggota DPRD Kabupaten Bintan & Mahasiswi S3 Ilmu Pendidikan UKM Malaysia (34)
Langganan:
Postingan (Atom)