About Me

RSS






Classmeeting ^^
















Malam minggu di sekolah bareng TRANS 7 ^^ 




  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Ke Manakah Anak-Anak Jenius Kepri Menghilang?

Add caption
”Setiap anak adalah jenius, sampai para orangtua dan sekolah yang merusak kejeniusan mereka….”
Saya merenungkan kalimat di atas sejak beberapa waktu belakangan. Seorang pakar pendidikan, Thomas Armstrong pernah menulis buku dengan judul yang agak mengelitik: Awakening Genius in The Classroom. Kalau diterjemahkan secara bebas, mungkin bisa diartikan begini: membangkitkan kejeniusan anak di dalam kelas.  Pertanyaannya, pertama, apakah anak-anak di dalam kelas tertekan, sehingga gagal mengeluarkan kejeniusan mereka? Kedua, apakah sebelum kita mengirimkan anak-anak kita ke sekolah, ternyata kita telah gagal memberikan ruang yang begitu luas bagi tumbuh kembangnya kejeniusan anak-anak kita di rumah?
Bertolak dari dua pertanyaan itu, kemudian saya mulai berusaha untuk mencari sejumlah bahan bacaan terkait kejeniusan anak. Hasilnya, saya menemukan banyak hal yang luar biasa. Seperti misalnya saja artikel yang pernah dibuat oleh seorang wartawan senior yang kini menjadi pimpinan di sebuah stasiun televisi, Ishadi SK. Dalam tulisan tersebut, Ishadi mengungkapkan banyak sekali data-data tentang anak-anak Indonesia yang jenius. Dan data itu membuat kita semua akan terbelalak.
Misalnya saja,  seorang mahasiswa jurusan Fisika ITB, Anike Nelce Bowaire, yang berasal dari Papua, ternyata memperoleh penghargaan First to Nobel Prize in Physic 2005 dalam Kejuraan Fisika Dunia di Amerika. Gadis tersebut kini tengah melanjutkan studinya di  Massachusetts Institute ff Technology (MIT) di Amerika. MIT tentu bukanlah kampus sembarangan, dan tidak sedikit orang yang gagal untuk masuk ke sana. Tentu itu merupakan kebanggaan bagi  kita, bahwa anak-anak Indonesia, yang sering mendapat ejekan kurang SDM karena hanya makan tahu dan tempe (padahal dua jenis makanan ini memiliki gizi yang luar biasa besar), dianggap tidak akan bisa berkiprah di wilayah pekerjaan yang mengutamakan otak, bukan otot.
Dari Makassar, juga ada Muhammad Firmansyah Kasim, siswa SMU Negeri Makassar yang menyabet emas pada dua ajang berbeda, yakni kejuaraan Olimpiade Asia di China yang diikuti oleh 80 Negara dan Olimpiade Dunia di Iran yang diikuti oleh 90 negara pada tahun 2007. Satu lagi fakta yang membuat kita terbelalak adalah bahwa peraih gelar profesor termuda dalam sejarah panjang perguruan tinggi di Amerika, ternyata adalah anak Indonesia. Namanya Prof. Nelson Tansu Ph.D. Saat memperoleh gelar guru besar bidang Fisika, usianya baru 25 tahun. Ia memperoleh gelar tersebut dari Pennsylvania State University. Nelson adalah murni produk pendidikan Indonesia. Ia adalah alumni SMA Dr Sutomo 1, Medan.  Anak Medan itu kemudian mencatatkan prestasi akademis besar di Amerika, Bung.
Wah, saya jadi merinding sendiri ketika mengutip data-data ini. Ternyata, berkah Allah SWT terhadap anak-anak Indonesia tak pernah berhenti. Satu lagi fakta luar biasa terungkap, ternyata Indonesia memiliki ilmuan astronomi yang pernah menemukan beberapa planet baru dalam tata surya kita. Orang tersebut adalah Prof Johny Setiawan, yang bekerja di Max Planck Institute for Astronomy, Jerman.
Para Jenius Kepri
Ketika mendapatkan data-data tentang para jenius Indonesia itu, pertama saya merasa bangga. Namun kedua, segera terlintas dalam benak saya, ke mana jenius-jenius Kepri? Apakah mereka belum terlahirkan, atau sudah terlahir, hanya belum terekspos ke permukaan. Saya mulai membuka-buka sejumlah buku lain di rak baca saya. Hasilnya, saya juga menemukan hal yang tak kalah mencengangkan. Seperti ditulis oleh dua orang mantan wartawan, Trisno Aji Putra dan Muhammad Amin dalam buku mereka, ”77 Sosok Terkemuka Kepri”, ternyata setidaknya ada empat anak jenius Kepri yang telah berprestasi di tingkat internasional. Keempatnya adalah Rodi Hartono, Muklis Saputra, Farida Fransisca, dan Berry Ferdiansyah. Keempatnya memiliki kejeniusan di tiga bidang yang berbeda. Rodi Hartono, anak Anambas, mencatatkan diri sebagai pendesain robot papan atas negeri ini. Pada tahun 2009 dan 2010, ia beserta timnya memenangi kontes robot di Amerika, mengalahkan perserta dari berbagai negara lain. Tak ada yang tahu, ternyata Rodi Hartono adalah anak seorang nelayan di Tarempa, Kabupaten Anambas.
Sementara Berry Ferdiansyah. Ia memiliki kecerdasan kinestetis, di mana kedua belah kakinya mampu menggocek bola dengan indah. Hasilnya, anak Kijang, Kabupaten Bintan ini bersama belasan anak Indonesia lainnya, bisa memenangi kejuaraan sepakbola junior di Milan, Italia, dan mengalahkan tim dari berbagai penjuru dunia lainnya. Sementara Muklis Saputra dan Farida Fransisca, adalah dua orang jago mengaji. Keduannya juga berasal dari pulau kecil. Farida dari sebuah pulau di kawasan Karimun, sementara Muklis dari kawasan hinterland Batam. Farida pernah menyabet juara tiga MTQ Internasional di Yordania, sementara Muklis pernah menjuarai MTQ tingkat Asia Tenggara. Tentu mereka adalah jenius-jenius Kepri berbakat. Tapi hanya mereka kah para jenius itu? Apakah Kepri tidak memiliki jenius lain?
Saya membaca analisa Prof Yohanes Surya. Menurut sang profesor, sebagaimana yang dituliskan dalam artikel Ishadi SK, Indonesia memerlukan paling tidak 10.000 orang yang memiliki keahlian ”advance in science and technology” sebagai persyaratan dasar sebuah bangsa untuk mengembangkan diri sejajar dengan bangsa-bangsa maju di dunia. Saat ini, Indonesia baru punya 100 orang. Padahal, kata Prof Yohanes Surya, berdasarkan uji statistik, rata-rata terdapat seorang jenius di antara setiap 10.000 orang di dunia. Wah!!!
Berarti kalau Kepri saat ini dihuni oleh sekitar 1,6 juta jiwa, maka ada 160 jenius yang telah terlahir di Kepri! Lantas di manakah mereka berada? Mengapa kita baru menemukan bahwa ternyata baru ada empat anak-anak Kepri yang berhasil menunjukkan kejeniusan mereka di forum internasional? Ke mana 156 jenius Kepri lainnya?
Saya kembali mendalami analisa Prof Yohanes Surya. Ternyata, para jenius ini disebutkan bisa pudar dengan sendirinya karena terbiarkan. Kejeniusan seseorang diukur tingkat IQ-nya yang minimal 140, dan tidak mempunyai korelasi dengan standar gizi yang dikonsumsi sehari-hari. Jadi dengan kata lain, semiskin apapun mereka, asupan gizi yang pas-pasan pun yang mereka dapatkan, namun bila ternyata Allah SWT mengkaruniakan mereka berkah kejeniusan, maka mereka akan tetap membawa bakat itu. Juga bisa diartikan, jenius adalah bakat alam yang dibawa sejak manusia itu dilahirkan. Tapi yang jadi masalah, lanjut Prof Yohanes Surya, ternyata sebagian terbesar anak-anak jenius ini tidak diolah, dilatih dan dididik secara benar.
Orangtua dan Sekolah
Membaca ide-ide yang disampaikan oleh Thomas Armstrong sungguh menarik dan menggugah pikiran. Saya terutama tercenung begitu mendapat kesimpulan dari buku itu, bahwa pembunuh kejeniusan seorang anak adalah orang tua dan sekolah. Padahal orang tua dan sekolah adalah dua kelompok terdekat bagi seorang anak, yang bahkan sampai saat ini dianggap, justru menjadi kekuatan yang akan mengantarkan seorang anak menemukan kejeniusan mereka. Artinya, memang kembali seperti kata pepatah, ikan yang enak, akan menjadi gurih bila disentuh oleh tangan koki yang mahir. Tapi sebaliknya, akan menjadi sekadar santapan biasa bila tak diolah dengan baik.
Demikian juga dengan kejeniusan. Mungkin sudah betapa banyak jenius-jenius alam di Kepri yang lahir kemudian tersiakan karena tidak mendapatkan penanganan dari orang tua dan sekolah secara semestinya. Mengapa demikian? Tentu ada baiknya saya berusaha menjelaskan secara garis besar pokok-pokok pikiran Thomas Armstrong dalam buku Awakening Genius in The Classroom tersebut. Thomas percaya bahwa kata jenius tidak lagi bisa diidentikan dengan mereka yang memiliki IQ di atas skore 130. Thomas menjelaskan bahwa kata jenius berasal dari bahasa Yunani dan bahasa Latin yang berarti memperanakkan, dilahirkan atau dijadikan. Kata ini juga diartikan meriah, memeriahkan, riang gembira, dan membantu pertumbuhan. Dalam dunia pendidikan kata jenius berarti ”melahirkan kegembiraan dalam belajar”.
Bertolak dari situ, maka Thomas Amstrong sampai pada kesimpulan bahwa kejeniusan anak akan muncul bila ia mengalami kegembiraan dalam belajar, mengalami kegembiraan dengan kemajuan dan pertumbuhan yang mereka alami. Setidaknya, ada 12 ciri kejeniusan itu: rasa ingin tahu yang besar, jenaka,  imajinatif, kreatif, rasa takjub, bijaksana, penuh daya cipta, penuh vitalitas, peka, fleksibel, humoris, dan gembira.
Lantas di manakah kita bisa menemukan ke-12 ciri itu ada pada diri seorang manusia? Ternyata hanya ada pada dua kelompok. Yang pertama adalah kelompok mereka yang dianggap telah sukses dalam berbagai bidang kehidupan, dari mulai penemu terkemuka, dokter, profesor, budayawan dan seniman ternama, pengusaha dan lainnya. Dan menariknya, satu kelompok lagi adalah anak-anak kecil, yang masih masuk tahap pra sekolah. Mereka juga memiliki hampir 12 ciri kejeniusan seperti di atas, dari mulai gembira, penuh rasa ingin tahu, memiliki vitalitas, peka, lucu dan mengemaskan, imajinatif, dan lainnya.
Selain faktor internal di dalam keluarga, juga masih ada faktor sekolah. Thomas Armstrong mengarisbawahi bahwa sekolah-sekolah yang memiliki sistem pembelajaran yang kaku, buku pelajaran yang kering, banyaknya latihan soal, tes dan ujian telah membuat anak-anak kehilangan rasa gembira, rasa takjub, rasa ingin tahu, keinginan mengeksplorasi, dan sifat jenaka.
Dengan mengikuti telaah Thomas Armstrong di atas, memang agaknya kita perlu melakukan refleksi diri terhadap cara kita dalam mendidik anak. Sebab, tentu yang kita khawatirkan adalah, jangan sampai karena salah asuh, maka anak-anak jenius yang ada di tangan kita akhirnya hanya akan menjadi anak-anak yang biasa-biasa saja. Tentu kalau ini yang terjadi, mungkin sebaiknya kita perlu menyesalinya, sebab, sebuah anugerah besar dari Allah SWT sudah kita sia-siakan akibat keteledoran dan ketidaktahuan kita.
Tentu tidak hanya para orangtua, tetapi para guru pun agaknya sudah harus mulai berpikir untuk menjadikan kelas kita sebagai taman bermain yang menggembirakan bagi anak-anak. Saya sangat paham, sebenarnya sudah banyak guru-guru di Kepri yang sudah melakukan hal ini. Mereka dengan kecerdasannya telah berhasil mengubah kelas dengan mata pelajaran matematika, fisika, atau kimia, menjadi kelas yang penuh canda tawa dan menyenangkan.
Namun tentu masih ada yang sebaliknya. Mengapa demikian, karena memang saya pikir tekanan dari kurikulum kita juga sangat berat. Apalagi belakangan ada kebijakan ujian nasional. Pertaruhan pendidikan kemudian menjelma menjadi sejumlah angka-angka yang keluar pada saat UN. Padahal, tentu proses pendidikan tak bisa diterjemahkan menjadi sekumpulan angka saja. Namun saya agak bersyukur, dalam beberapa tahun belakangan, mulai terjadi sedikit demi sedikit perubahan terhadap UN dan sistem penentuan kelulusan siswa. Tentu, kita akan sangat menyayangkan, bila pada akhirnya ternyata nilailah yang membunuh kejeniusan anak-anak kita. ***

Oleh: Hj. Susilawati S.Ag., M.Ed.
Anggota DPRD Kabupaten Bintan & Mahasiswi S3 Ilmu Pendidikan UKM Malaysia (34)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS